Selasa, 01 Oktober 2013

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut statistik sensus pertanian 1963, di Indonesia terdapat lebih dari 41.000 komunitas desa, di antaranya lebih dari 21.000 terda­pat di Jawa.[1] Ke-41.000 komunitas desa itu didiami oleh lebih dari 80 juta penduduk, yaitu lebih-kurang 80 persen dari seluruh pendu­duk pada waktu itu, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih bekerja dalam sektor pertanian (termasuk peternakan dan perikanan). Walaupun demikian dalam angka statistik ada kecondongan menurun, yang menunjukkan bahwa dalam waktu sepuluh tahun penduduk Indonesia yang aktif secara ekonomis (artinya, tak terhitung yang menganggur dan setengah menganggur) da­lam sektor pertanian turun dari 71,9 persen dalam tahun 1961 menjadi 63,2 persen dalam tahun 1971 (King 1973 : Tabel 1).
Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan: (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa go­longan pertama terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kali­mantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku.
Desa-desa yang termasuk golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, dan merupakan tempat bermukim dan hampir 65 persen dari seluruh penduduk Indonesia (lebih dari 85 juta menurut Sensus 1971); sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7 persen dari seluruh wilayah negara kita ini.



1.2 TUJUAN
          Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas praktikum Sosiologi Pertanian, Tidak hanya itu tugas makalah ini juga bisa menambah pengetahuan kita tentang bagaimana keadaan pertanian di Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Bagaimana mekanisme pertanian serta tata cara yang digunakan para petani di pedesaan Indonesia.

1.3 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana bercocok tanam di ladang?
2.      Apa pengerahan pada cocok-tanam di sawah?
3.      Apa penyebab Fragmentasi?
4.      Bagaimana keadaan komunitas desa dan dunia luar desa?


BAB 2
 Masyarakat Pedesaan di Indonesia

2.1 BERCOCOK TANAM DI LADANG
Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komu­nitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai membuka suatu la­dang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar.
Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slash and burn agriculture, atau "bercocok-tanam menebang dan membakar", yang seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; se­dangkan sebutan yang lain adalah shifting cultivation, atau "pertanian berpindah-pindah", yang menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak digarap dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama akan kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi.
Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali.
Mudah dapat dimengerti bahwa suatu cara bercocok-tanam seperti terurai di atas memerlukan tanah yang luas. Karena itu cara itu hanya dapat dilakukan di daerah-daerah yang padat penduduknya masih rendah, seperti misalnya di Sumatera yang dalam tahun 1971 padatnya rata-rata sekitar 38 orang tiap kilometer persegi, di Kalimantan dengan rata-rata 9 orang tiap kilometer persegi, atau di Sulawesi de­ngan rata-rata 37 orang tiap kilometer persegi. Di Jawa atau Bali, di mana padat penduduknya dalam tahun itu juga secara respektif ada­lah 565 dan 377 tiap kilometer persegi, tidak mungkin dilaksanakan cocok-tanam di ladang. Cara bercocok-tanam di daerah-daerah ini sebagian besar memang dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau sawah.
2.2 BERCOCOK TANAM MENETAP DI JAWA, MADURA DAN BALI
2.2.1Tipe-tipe Penggunaan Tanah
Seorang petani di Jawa, Madura atau di Bali, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu: (1) kebun kecil di seki­tar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan mene­tap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang diirigasi.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah, yang di Jawa Tengah dan Timur, dan juga di Bali, disebut pekarangan, seorang petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu dan lain-lain, yang diperlukannya dalam kehidupan   rumah-tangganya sehari-hari. Pekarangan tentu juga mengandung tanaman yang berupa umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong. Tak dapat dilupakan, bahwa di pekarangan sering ada pula kolam ikan yang selain untuk tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai  sebagai tempat buang air.
Di tanah pertanian kering, yang di Jawa biasanya disebut tegalan, petani-petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada tengkulak. Tanaman itu adalah antara lain jagung, kacang kedele, berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian, tetapi juga padi yang dapat tumbuh tanpa irigasi.
Dengan teknik penggarapan  tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan  dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat hara yang terkandung di dalamnya.

TABEL III—1: Proporsi Berbagai Tipe Penggunaan Tanah di Jawa
Propinsi
Proporsi ta­nah pertani­an terhadap seluruh tanah


Ladang
Proporsi Berbagai Tipe Tanah (%)
Pemakaian
Pekarang­an
Tegalan
Sawah
Lain
Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur
52,8
61,4
44,8
3,0
8,8
1,7
11,4
3,6
10,7
39,8
59,6
42,8
43,1 28,4 42,4
2,7
2,6
2,4
SUMBER: Sensus Pertanian, EPS, 1963.
2.2.2 Tahap-tahap Produksi Bercocok-Tanam di Sawah
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air, maka permukaannya harus mendatar sama sekali, dan dikelilingi oleh suatu pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter.
Tiap lingkaran tahap-tahap pekerjaan bercocok-tanam itu biasanya dimulai dengan memperbaiki bagian-bagian dari sistem irigasi, misalnya pematang, saluran dan pipa-pipa bambu, dan kadang-kadang juga bendungan yang merupakan sumber dari sistem irigasi bagi sekelompok sawah sekitar desa. Pekerjaan ini adalah khusus pekerjaan laki-laki.
Langkah selanjutnya adalah membuka saluran-saluran air sehingga air dapat mengalir dari bagian sungai yang dibendung ke sawah-sawah hingga merata. Pembagian air ke sawah di desa-desa di daerah pegunungan di Jawa biasanya mudah, karena air dengan mudah dapat mengalir dari sawah-sawah yang letaknya tinggi ke sawah-sawah yang letaknya rendah.
Di Bali soal-soal irigasi pembagian air, pertengkaran mengenai distribusi air irigasi dan sebagainya, diurus oleh suatu organisasi yang bemama subak. Organisasi ini tidak terikat sebagai bagian dari organisasi dari suatu perkampungan di Bali, yang disebut banjar, tetapi selalu terikat kepada suatu kompleks atau sistem bendungan tertentu. Bendungan-bendungan ini memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa yang luas kepada sejumlah sawah yang tertentu juga, sedangkan pemilik sawah-sawah tadi mungkin saja terdiri dari warga-warga berbagai banjar yang berlainan.
Sawah digenangi air selama beberapa waktu, yaitu antara satu hingga dua minggu. Sementara itu sisa-sisa tanaman padi sebelumnya dan tumbuh-tumbuhan lain di sawah dibersihkan. Setelah itu tanah dicangkul atau dibajak (di banyak daerah di Jawa membajak disebut meluku) yang kadang-kadang dikerjakan oleh orang, tetapi kadang-kadang pula oleh kerbau atau sapi.
Untuk kedua kalinya sawah diolah dengan bajak dan cangkul, serta dibiarkan lagi terendam air selama beberapa hari. Pematang-pematang pun sudah diperbaiki. Biasanya bajak yang dipergunakan untuk mengolah tanah adalah milik bersama dari sekelompok petani. Demikian juga binatang yang menghela bajak itu. Bajak dan kerbau atau sapi itu dipakai secara bergantian oleh para petani yang memilikinya.
Tanah yang sudah diolah untuk kedua kalinya, dan digenangi air selama satu hingga dua minggu itu, kemudian diratakan dengan garu, yang ditarik oleh kerbau atau sapi, tetapi seringkali juga oleh manusia. Setelah pekerjaan ini selesai, maka sawah siap untuk ditanami dengan tunas-tunas padi yang sementara itu sudah tumbuh di pesemaian.
Tata urut pekerjaan itu adalah sebagai berikut: mula-mula tunas-tunas muda itu dicabut dengan hati-hati dari pesemaian, lalu diikat menjadi be­berapa ikatan yang dibagi-bagikan secara merata di tiap petak sawah. Lalu mulailah tunas-tunas itu ditanam satu demi satu dengan tangan, menjadi deretan-deretan yang panjang dan teratur.
Selama tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga ta­naman mereka dari berbagai tumbuh-tumbuhan liar (matun) yang dilakukan oleh wanita, dan apabila padi sudah mulai berbuah, serangan-serangan biasanya datang dari burung, tikus, serangga dan se­bagainya.
Berapa lamanya padi berbuah dan masak, tergantung pada jenis padi dan berbagai faktor lain. Ada jenis padi yang sudah dapat dipotong setelah berusia empat bulan, tetapi ada pula jenis-jenis lain yang baru dapat dipanen setelah enam bulan atau lebih. Panen selalu diker­jakan oleh wanita, dengan menggunakan pisau kecil yang disebut ani-ani, untuk memotong tangkai-tangkai padi itu satu demi satu.
Tiga atau empat bulan setelah panen, sementara menunggu penanaman padi yang berikutnya, para petani menanam bermacam tanaman lain, seperti ubi-ubian, singkong, berbagai kacang, kedele, jagung, juga padi gaga (yaitu padi kering), sayur-mayur, tembakau, kadang-kadang juga tebu, dan bumbu-bumbu, yang jumlahnya ada lebih dari 20 macam.
Penanaman palawija dalam sistem bercocok-tanam di sawah adalah suatu perkembangan yang baru berlangsung kira-kira satu abad lamanya di Jawa. Singkong atau jagung sejak lama memang menjadi tanaman utama di daerah-daerah di Jawa dan Madura yang tidak dapat ditumbuhi padi dengan baik,[2] tetapi berbagai jenis ta­naman lain yang termasuk golongan palawija itu sekarang secara berangsur-angsur rupa-rupanya telah diterima juga oleh rakyat desa, dan sudah mulai diintegrasikan ke dalam sistem bercocok-tanam di sawah-sawah.

2.3 Pengerahan Tenaga Pada Cocok-Tanam di Sawah
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu-membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah "gotong-royong".
Di Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya seperti:
1.      Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa.
2.      Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dan sebagainya, untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat, dengan memberi jamuan makan.
3.      Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk persiapan dan penyelenggaraan pestanya.
4.      Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dan sebagainya, untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
 Di banyak daerah pedesaan di Jawa sistem gotong-royong dalam lapangan bercocok-tanam juga berkurang, dan diganti dengan sistem memburuh. Upah untuk membayar tenaga buruh da­pat berupa (i) upah secara adat, dan (ii) upah berupa uang.
Upah berupa uang adalah suatu cara membayar buruh tani yang sudah lazim juga di seluruh Indonesia. Walaupun cara ini merupakan suatu sistem yang
relatif baru di Indonesia, di Jawa sudah dikenal se­jak pertengahan abad ke-19 yang lalu. Para petani sering memiliki bantuan tenaga buruh yang tetap, yang memberi bantuan dalam per­tanian pada waktu-waktu sibuk, dan yang juga membantu dalam rumah tangga pada waktu-waktu senggang.
Masa kini, terutama dalam produksi bercocok-tanam terjadi proses   pergeseran dari cara pengarahan tenaga bantuan di luar rumah-tangga dengan gotong-royong ke cara dengan menyewa buruh.

TABEL III-2. Jumlah Rata-rata Jam Kerja Bagi Tiap Individu Pada Satu Hektar Sawah di Daerah Bagelen (1958).
Aktivitas produksi
Tenaga gotong-royong
Tenaga buruh
Tenaga hewan
Pria
Wanita
Anak

Mempersiapkan sawah dan sistem irigasi*
Mempersiapkan tempat pe-
semaian*
Menanam biji*
Membajak-mencangkul sa-
wah (dua kali)
Menggaru sawah (dua kali)
Mempersiapkan benih* Menanam benih
Matun*
Menuai


70

25
2

-
-
40
-
51
-


-

-
-

-
-
43
205
59
300


-

-
-

-
-
-
-
-
12

42
42

-
-

-
-
-
92
54
162


-

-
81

44
-
-
-
-
-

Total
188
607
12
350
125
SUMBER: Penelitian lapangan Koentjaraningrat
Data dikumpulkan dengan cara mengobservasi 10 kasus.
*     Datadikumpulkan dari mulut informan yang memiliki 36 kesatuan tanah untuk usaha-tani, seluruhnya seluas 21 hektar lebih.

Akhir-akhir ini malahan timbul keadaan yang lebih gawat lagi. Di banyak tempat di Jawa adat para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka dengan buruh tani mulai mencapai batas kemampuannya.
Mereka membantu dengan semangat gotong-royong, dan menurut adat boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi yang mereka potong. Kerabat-kerabat dan para teman dekat yang turut membantu seringkali menerima seperenam sampai seperlima bagian; tetangga atau kenalan jauh menerima seperdelapan sampai sepersepuluh bagian; dan wanita-wanita yang pekerjaannya memang buruh pemotong padi dan yang setiap musim panen berkeliling dari desa yang satu ke desa lain untuk memotong padi, menerima sekitar sepersepuluh bagian dari hasil yang mereka potong. Bagian yang diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh pemotong tadi disebut dengan istilah adat Jawa, bawon.
Pada zaman sekarang, di mana jumlah kerabat, tetangga, kenalan dan buruh yang datang membantu memotong padi itu sudah sekitar 40 orang, tentu sangat berat bagi petani pemilik sawah itu untuk mempertahankan adat berdasarkan sistem gotong-royong bawon itu.
Contoh lain dari proses tergesernya adat gotong-royong oleh sistem baru dengan menyewa buruh tani wanita adalah adat menumbuk padi secara tradisional.
Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani, antara lain terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di Jawa.
Dalam contoh terakhir, adat pengerahan tenaga pembantu dalam produksi pangan tergeser oleh teknologi baru, namun pada umumnya proses penggeseran cara pengerahan tenaga tani dan gotong-royong menjadi menyewa buruh tani itu, antara lain disebabkan karena tenaga buruh tani itu menjadi sangat murah.
Adapun sangat murahnya biaya menyewa buruh tani itu disebabkan karena makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat kecil sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga Jawa sepanjang musim.

2.4 Fragmentasi Sawah di Jawa, Madura dan Bali
Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat itu, terutama di Jawa memang merupakan sebab utama dari proses makin kecilnya usaha tani secara rata-rata. Menurut sensus pertanian 1963, tanah milik petani di Jawa dan Madura adalah rata-rata 0,7 hektar. Tanah pertanian berupa sawah atau tegalan yang sudah demikian kecilnya itu pada umumnya kemudian dipecah-pecah lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
Fragmentasi yang sifatnya ekstrim seperti itu terjadi karena petani pemiliknya membagi-bagi tanahnya untuk digarap oleh sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara. Di antaranya ada cara yang paling tradisional, yaitu ketiga adat bagi-hasil: maro, mertelu dan merpat. Pada adat maro, petani yang menggarap tanah akan menerima separuh dari hasilnya, dan pajak tanah ditanggung oleh pemiliknya, sedangkan biaya produksi oleh si penggarap. Pada adat mertelu, perjanjian pembagian hasil adalah duapertiga bagi si pemilik tanah dan sepertiga bagi penggarap, dan mengenai biaya-biayanya perjanjiannya adalah sama seperti pada adat maro. Pada adat merpat, pemilik tanah memperoleh tigaperempat bagian tetapi harus membayar pajak tanah dan menanggung sebagian dari biaya produksi, dan penggarap hanya menerima seperempat bagian dari hasil, dan membayar sisa dari biaya produksi.
Fragmentasi sekarang juga terjadi karena di samping membagi hasil bagian-bagian dari tanahnya kepada sejumlah petani lain, seorang petani pemilik seringkali juga menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga berupa uang tunai.
Proses fragmentasi tanah di Jawa dan Madura memang berjalan terus, dan dengan demikian maka tanah pertanian milik para petani itu menjadi semakin kecil juga. Sensus pertanian 1963 juga menunjukkan bahwa dari 7,94 juta unit tanah milik petani di Jawa dan Madura, hanyalah 1,43 juta digarap sebagai kesatuan yang utuh; 5,11 juta unit tanah milik petani terpecah untuk penggarapannya menjadi dua sampai tiga bagian; 1,07 juta terpecah ke dalam empat sampai lima bagian; 0,3 juta ke dalam enam sampai sembilan bagian; dan 0,02 juta bahkan terpecah ke dalam sepuluh bagian atau lebih (Brand 1969: hlm. 315).

2.4.1 Konsep Geertz Tentang Involusi Pertanian
Ahli antropologi terkenal, C. Geertz, yang pernah melakukan penelitian mengenai sejarah ekonomi pertanian di Jawa, pernah mengembangkan konsep "involusi pertanian", atau agricultural involutin, yang dipakainya untuk menggambarkan proses sejarah pertanian di Jawa sampai dasawarsa 50-an yang lalu. Uraian mengenai konsep itu termaktub dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Agricultural Involution (1963). Pada halaman 80 dari buku itu Geertz merumuskan definisi yang berbunyi sebagai berikut:

"Wet-rice cultivation, with its extraordinary ability to maintain levels of mar­ginal productivity by always managing to work one more man in without a serious fall in per-capita income, soaked up almost the whole of the additi­onal population that Western intrusion created, at least indirectly. It is this ultimately self-defeating process that I have proposed to call agricultural involution."

Definisi tersebut memang kurang jelas, tetapi dari uraiannya lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya dalam buku itu, tampak bahwa Geertz membayangkan perkembangan pertanian sawah di Jawa seba­gai suatu keadaan di mana para petani yang menggarap bidang-bidang tanah yang memang sudah kecil dan tak dapat dijadikan lebih besar lagi itu, toh masih terkena tekanan pertambahan penduduk secara terus-menerus. Jadi walaupun tingkat kemakmuran para petani di Jawa dan Bali tidak pernah akan dapat meningkat, namun intensifikasi kerja tadi itulah yang menambah hasil panen, dan bukan karena cara kerja yang lebih keras yang dilakukan para petani itu, melainkan cara kerjasama, yang dilakukan oleh tenaga petani yang lebih banyak jumlahnya. Tambahan itu memang tidak banyak, namun dapat dinikmati secara rata. Dengan merasakan kemiskinan bersama (shared poverty) itulah penderitaan dapat dikurangi.
Secara teori hal itu berarti bahwa produksi naik apabila ditinjau dari aspek tanah dan dihitung per hektar tanah, tetapi konstan atau bahkan turun bila ditinjau dari aspek tenaga dan dihitung per individu.
Van den Muijzenberg menyarankan bahwa dalam menganalisa proses perkembangan pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang kecil dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya seperti di Luzon Tengah atau di Jawa, seorang peneliti sebaiknya membedakan secara tajam antara aspek  produksi dan aspek konsumsi. Dalam produksi petani seringkali dapat meningkatkan hasil panen dengan mempekerjakan lebih banyak tenaga manusia dalam prosesnya. Untuk menyebut aspek yang mengenai aspek produksi ini Van den Muijzenberg menerima istilah Geertz agricul­tural involution. Namun, hasil panen yang bertambah sebagai akibat intensifikasi penggarapan tanah tadi, dibagi rata antara para petani yang juga bertambah jumlahnya. Untuk menyebut aspek mengenai konsumsi ini, Van den Muijzenberg menyarankan untuk mempergu-nakan istilah Geertz yang kedua yaitu shared poverty. Dengan demikian Van den Muijzenberg berusaha mempertajam konsep cultural involution dengan memisahkannya dari konsep shared poverty. Da­lam konsepsi Geertz, perbedaan yang tajam itu tidak ada.

2.5 MOBILITAS KOMUNITAS DESA
2.5.1 Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian
Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor per­tanian, dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak terdapat sumber mata pencaharian hidup yang lain. Pendu­duk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder. Tetapi banyak pula desa-desa, terutama di Jawa, di mana sebagian besar penduduknya bekerja di luar sektor per­tanian.
Seorang petani yang tidak memiliki tanah mungkin juga memi­liki sebuah warung yang diusahakan oleh isterinya, sedangkan ia sendiri pada awal musim bercocok-tanam sibuk bekerja sebagai buruh tani pada petani-petani lain yang biasanya berasal dari desa lain. Sering juga petani yang tidak memiliki tanah itu menjadi buruh pekerja jalan atau pekerja bangunan selama suatu jangka waktu yang pendek, yaitu misalnya selama tiga bulan, berdasarkan suatu kontrak.
Dalam hampir semua komunitas desa, semua anggota pamong desa dan para guru desa, pasti memiiki tanah sawah dan tegalan. Sebagian dari tanah itu mereka sewakan, mereka dibagi-hasilkan, atau mereka gadaikan kepada petani lainnya, tetapi sebagian lagi selalu mereka kerjakan sendiri.  Dengan demikian mereka lebih seringg berada di sawah atau tegalan mereka daripada di belakang meja tulis atau ruang kelas. Meskipun demikian mereka lebih senang mengidentifikasi dirinya sebagai pegawai pamong praja karena dalam kebudayaan Indonesia pada umumnya, dan kebudayaan petani Jawa pada khususnya, menjadi pegawai membuatnya lebih gengsi daripada menjadi petani.
Desa-desa di Jawa yang ada di sepanjang jalan-jalan raya dekat pabrik-pabrik pusat industri atau dekat kota-kota kecil atau besar, biasanya  kurang-lebih  terpengaruh oleh gaya hidup kota. Banyak penduduk desa dengan lokasi seperti tersebut di atas itu memiliki atau berhasrat  memiliki rumah gaya kota, lengkap dengan lantai tegel atau setidak-tidaknya lantai semen, jendela kaca, atap seng atau genting dan perabot rumah seperti yang dimiliki orang kota.

2.5.2 Mobilitas Geografis
Pola-pola, mata pencaharian dan aktivitas pekerjaan di luar sektor pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa. Hal ini telah dilukiskan dalam suatu laporan penelitian mengenai kehidupan komunitas-komunitas desa sekitar Jakarta (Koentjaraningrat 1975), yang juga termuat dalam bagian ke III dari buku bunga rampai ini. Dalam bagian yang khusus memuat karangan-karangan mengenai migrasi, transmigrasi dan urbanisasi itu, masalah mobilitas geografikal dari pendu­duk komunitas desa di Indonesia akan dibahas lebih mendalam.

2.6 KOMUNITAS DESA DAN DUNIA DI LUAR DESA
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari daerah Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu. Banyak di antaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini. Dengan demikian, juga karena makin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi, pada waktu sekarang ini hampir tidak ada lagi komunitas desa bersahaja yang terisolasi di negara kita ini, yaitu desa dengan penduduk yang tidak sadar akan adanya dunia di luar desa itu.

Walaupun  demikian   kesadaran  akan  adanya  suatu dunia luas di luar komunitas desa sendiri perlu dianalisa, lepas dari jangkauan hubungan dari para petani pedesaan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu di dunia luar itu tadi, sedangkan kesadaran tadi itu juga belum berarti bahwa para petani pedesaan itu juga mempunyai perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar itu.
Pada hemat saya, suatu konsep yang sangat cocok untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan mengenai dunia di luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya  di   sana, adalah konsep  yang dikembangkan oleh ahli antropologi-sosial J.A. Barnes mengenai "lapangan lapangan sosial" atau social fields (1954). Menurut konsep   itu, petani desa pun dalam  kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam "lapangan-lapangan sosial" yang berbeda-beda, menurut keadaannya yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosialnya dalam "lapangan hidup" pertanian. Dalam hubungan sosial ini termasuk kerabatnya yang terdekat, tetangganya,   kenalan-kenalannya yang memiliki  tanah pertanian dekat pada tanah pertaniannya sendiri, penduduk dukuh-dukuh lain yang juga menjadi anggota organisasi   irigasi subak yang sama, para  pemilik tanah yang tanahnya sedang digarap atas dasar bagi-hasil, dan para buruh tani yang berasal dari desa-desa lain pada musim panen.
Dengan mempergunakan konsep "lapangan sosial" sebagai jaringan-jaringan hubungan para petani pedesaan, seorang peneliti dengan demikian dapat membuat suatu deskripsi kongkrit secara kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan-lapangan sosial para petani yang berdasarkan sifat, ruang lingkup, intensitas, serta frekuensi dari hubungan-hubungannya.
Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan oleh sifat dari "lapangan sosial" yang menjadi lapangan hidup serta lapangan orientasi mereka. Jika para ahli antropologi tadi mengadakan pengamatan mereka sekarang, dalam dasawarsa 70-an ini, mereka mungkin akan melihat bahwa per­hatian terhadap masalah-masalah di luar lokalitas desa mereka sudah banyak, dan karena itu pola-pola "lapangan sosial" orang desa sudah mempunyai ruang-lingkup yang jauh lebih luas. Sebaliknya, masalah apakah loyalitas nasional para petani di berbagai daerah pedesaan di Indonesia juga sudah berkembang adalah hal yang memang masih perlu diteliti lebih mendalam.
Loyalitas etnik adalah masalah yang lain lagi. Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat desa itu.
Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masya­rakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan "lapangan-lapangan sosial" dengan ruang-lingkup lokal. Dengan demikian kecenderungan orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat terjaga. Juga usaha pengembangan loyalitas nasional pada penduduk desa di Indonesia sebaiknya merupakan usaha pengem­bangan lebih lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah lokal. Dalam hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas lokal.

2.7 SOLUSI
          Seharusnya manusia bersikap bijak kepada alam, apabila para masyarakat pedesaan ataupun para petani ingin membuka lahan untuk dikelola sebagai lahan pertanian harus menggunakan kaidah-kaidah pertanian yang memperhatikan lingkungan. Tidak hanya mengambil keuntungan dari alam akan tetapi harus memberikan manfaat bagi alam.
            Sebaiknya dalam menganalisa proses perkembsngsn pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang kecil dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya seperti di pulau Jawa, seorang peneliti sebaiknya membedakan secara tajam antara aspek produksi dan aspek konsumsi.
            Para petani seharusnya tidak bergantung hanya kepada hasil pertanian namun juga harus mendirikan usaha-usaha kecil yang dapat menambah penghasilan dari lahan pertanian. Agar pertanian di Indonesia khususnya di daerah pedesaan berkembang dan maju para petani harus lebih membuka wawasan dan mau menerima hal-hal baru yang bermanfaat demi pengelolaan pertanian.
           

























BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1.      Terdapat 3 macam tanah pertanian, yaitu kebun kecil di sekitar rumah, tanah pertanian kering tanpa diirigasi dan tanah pertanian basah yang diirigasi.
2.      Bercocok tanam di sawah sangat bergantung pada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks.
3.      Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu membantu yang di Indonesia dikenal dengan istilah “gotong royong”.
4.      Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat merupakan sebab utama dari proses makin kecilnya usaha tani secara rata-rata.
5.      Penduduk desa pada umumnya juga terlibat pada macam-macam pekerjaan diluar sektor pertanian dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu bersamaan yakni sebagai pekerjaan primer dan sekunder.
6.      Loyalitas etnik adalah masalah baru yakni semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial memiliki loyalitas etnik terhadap suku bangsa masing-masing, karena sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu.









DAFTAR PUSTAKA

BIBLIOGRAFI
Adam, L.
1924   De Autonomie van het Indonesische Corp. Amersfoort, S.W. Melchior (Dissertasi Universitas Leiden).

Adiwilaga
1954   Land Tenure in the Village ofTjipagalo. Bandung, Kantor Perantjang Tata Bumi

Barnes, J.A.
1954   Class and Committees in a Norwegian Island Parish. Human Relations, VII, him. 39-58.

Bennet, D.C.
1957   Population Pressure in East Java. Syracuse, N.Y. (Naskah ketik dissertasi untuk Universitas Syracuse).

Birowo, A.T.
1973   Aspek Kesempatan Kerja Dalam Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Prisma, II-4: him. 3-15.

Collier, W.L.
1979   Policy Implications of Declining Labor Absorption in Javanese Rice Production. Kuala Lumpur (Makalah untuk Southeast Asia's Third Biennial Meeting of the Agricultural Economic Society).

Collier, W.L., Gunawan Wiradi, dan Soentoro
1973   Recent Changes in Rice Harvesting Methods. Bulletin of Indonesian Economic Studies, IX: him. 36-45.

Collier, W.L., Soentoro, Gunawan Wiradi, dan Makali
1974   Agricultural Technology and Institutional Change: An Example in Java. Food Research Institute Studies in Agricultural Economics, Trade and Development, Stanford University.

Dam, H. ten
1956 Coopereren Vanuit het Gezichtspunt der Desastructuur in Desa Tjibodas, Indo­nesian, IX: him. 89-116. Terjemahannya dalam bahasa Inggeris dengan judul "Cooperation and Social Structure in the Village of Tjibodas" diterbitkan dalam Indonesian Economics. The Hague, W. van Hoeve. Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars, VI. him. 345-382.

Djojopranoto, R. Ng. A.,
1958   Persaingan Tanaman Perdagangan di Daerah Surakarta Dan Sekitarnja. Chusus-nja Daerah Klaten. Teknik Pertanian, XI-12: him. 517.


Guritno Pandam .
1958  Masjarakat Marangan. Jogyakarta, Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada (Naskah roneo).

Harts-Broekhuis, A., dan H.Palte-Gooszen
1977    Demografische Aspekten van Armoede in een Javaans Dorp, Jambidan, D.I.Y. Utrecht, Geografisch Instituut Rijksuniversiteit te Utreecht.

Jay, R.R.
1969   Javanese   Villagers:  Social Relations in Rural Modjohuto.  Cambridge, Mass., The M.I.T. Press.

Kasniyah, N.
1978    Pengaruh Mesin Penggiling Padi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Wanita Buruh Tumbuk Padi. Masyarakat Indonesia, V/2: halaman 161-172.

King, D.Y.
1973    Social Development in Indonesia: A Macro Analysis. Jakarta, Biro Pusat Statis­tic
Koentjaraningrat
1961 Some Social-Anthropological Observations on Gotong-Royong Practices in Two Villages of Central Java. Ithaca, N.Y. Cornell University Modern Indonesia Project. Monograph Series.
1967    Tjelapar: A Village in South Central Java, Villages in Indonesia. Koentjaraning­rat editor. Ithaca, N.Y., Cornell Univesity Press.
1974        Non-Farming Occupations in Village Communities. Masyarakat Indonesia, I: him. 45-61.
1975        Anthropology in Indonesia: A Bibliographical Review. 'sGravenhage, Martinus Nijhooff.
1977   Sistem Gotong Royong Dan Jiwa Gotong Royong. Berita Antropologi   IX/30: him. 4-16.

Kolff, G.H. van der
1937   De Historische Ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een Afgelegen Streek op Java: Voorlopige Resultaten van Plaatselijk Onderzoek, Volkskredietwezen: hlm. 3-70.
Kuntowijoyo
1971   Economic and Religious Attitudes of Entrepreneurs in a Village Industry: Notes on the Community of Batur. Translate by N. Nakamura. Indonesia, XII: hlm. 47-55.

Muijzenberg, D.D. van den
1976        Involution or Evolution in Central Luzon, Cultural Anthropology in the Nether­lands. P. Kloos, HJ.M. Claessens editors. Rotterdam, Nederlandsche Sociolo-gische en Antropologische Verenjging. Afdeling Culturele Antropologie/Niet-Westersche Sociologie.

Penny, D.H., M. Singarimbun
1973    Population   and Poverty in Rural Java: Some Economic Arithmatic From Shihardjo, Ithaca, N.Y.: Dept. of Agricultural Economics, Cornell University.

Redield, R.
1956 Peasant Society and Culture, Chicago: Chicago University Press.

Roll, W.
1977        Die Agrarische Grndbezit Vergassung uin Raume Surakarta: Untersuchungen zur Agrar und Sozial-struktur Zentral-Javas, Website Institut fur. Asienkunde, Hamburg.

Skinner, G.W. (editor)           
1959   Local, Ethnic and National Loyalties in Village Indonesia: A Symposium, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.

Soemardjo Hadiwidnjo    
1950   Desa Tjandi, Kelurahan Purwobmangun. Jogyakarta. Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada (Naskah roneo).
Terra, G.J.A
1952   Tuinbouw in Indonesia 'sGravenhage: W. van Hoeve
1932-a De Voeding der Bevolking en de Erfcultuur, Kolomale Studien, XVI. hlm. 593. Tiken, J.
1976.   Guru Desa  Een Sociologisch-Anthropologische Benadering van de Sociale Posi-tie van Onderwijzend Personeel en Zijn Rol in de Dorpssamenleving van Midden-java   Amsterdam: Universiteit van Amsterdam (Naskah skripsi Sarana Universitas Amsterdam).

Timmer, M.
1961    Chld Mortality  and Population Pressure in D.I. Jogyakarta, Java, Indonesia. Rotterdam: Bronder Offset.

Vries, E. de
1927    On twikkling van de Erfucltuur, De Indische Culturen … : hlm. 496-656.

White, B.
1973    Peranan Anak Dalam Ekonomi Desa, Prisma, II-4: hlm. 44-59
1985    The Economic Importance of Children in Jaanese Village, Population and Social Organization, Moni Nag editor. The Hague. Mouton.
1976    Production and Reproduction in a Javanese Village, New York (Dissertasi Ph.D. Antropologi, Universitas coulombia).
1976    Problems of Estimating the Value of Work in Peasant Houshold Economics: An Example from Rural Java. Bogor (Naskah roneo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome to Fiqolbi Blog's

semoga bermanfaat