BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut statistik
sensus pertanian 1963, di Indonesia
terdapat lebih dari 41.000 komunitas desa, di antaranya lebih dari 21.000 terdapat
di Jawa.[1] Ke-41.000 komunitas desa
itu didiami oleh lebih dari 80 juta penduduk, yaitu lebih-kurang 80 persen dari
seluruh penduduk pada waktu itu, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia masih bekerja dalam sektor pertanian (termasuk peternakan dan perikanan).
Walaupun demikian dalam angka statistik ada kecondongan menurun, yang
menunjukkan bahwa dalam waktu sepuluh tahun penduduk Indonesia yang aktif
secara ekonomis (artinya, tak terhitung yang menganggur dan setengah
menganggur) dalam sektor pertanian turun dari 71,9 persen dalam tahun 1961
menjadi 63,2 persen dalam tahun 1971 (King 1973 : Tabel 1).
Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita
bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi
dua golongan: (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2)
desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama
terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, Irian dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di
Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan
serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara
dan Maluku.
Desa-desa
yang termasuk golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan
Lombok, dan merupakan tempat bermukim dan hampir 65 persen dari seluruh penduduk Indonesia (lebih dari 85 juta menurut Sensus 1971); sedangkan areal tempat desa-desa itu
hanya meliputi 7 persen dari seluruh wilayah negara kita ini.
1.2 TUJUAN
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas praktikum Sosiologi Pertanian, Tidak hanya itu tugas
makalah ini juga bisa menambah pengetahuan kita tentang bagaimana
keadaan pertanian di Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Bagaimana mekanisme
pertanian serta tata cara yang digunakan para petani di pedesaan Indonesia.
1.3 RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
bercocok tanam di ladang?
2.
Apa
pengerahan pada cocok-tanam di sawah?
3.
Apa penyebab
Fragmentasi?
4.
Bagaimana
keadaan komunitas desa dan dunia luar desa?
BAB 2
Masyarakat Pedesaan di Indonesia
2.1 BERCOCOK
TANAM DI LADANG
Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komunitas
desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang
didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di
suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih
perawan. Para petani mulai membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar
bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar.
Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slash
and burn agriculture, atau "bercocok-tanam menebang dan
membakar", yang seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; sedangkan
sebutan yang lain adalah shifting cultivation, atau "pertanian
berpindah-pindah", yang menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah
suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak digarap
dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama
akan kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi.
Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-tiga kali panen,
dan dalam waktu sepuluh tahun sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali.
Mudah dapat dimengerti bahwa suatu cara bercocok-tanam seperti
terurai di atas memerlukan tanah yang luas. Karena itu cara itu hanya dapat
dilakukan di daerah-daerah yang padat penduduknya masih rendah, seperti
misalnya di Sumatera yang dalam tahun 1971 padatnya rata-rata sekitar 38 orang
tiap kilometer persegi, di Kalimantan dengan rata-rata 9 orang tiap kilometer
persegi, atau di Sulawesi dengan rata-rata 37 orang tiap kilometer persegi. Di
Jawa atau Bali, di mana padat penduduknya dalam tahun itu juga secara respektif
adalah 565 dan 377 tiap kilometer persegi, tidak mungkin dilaksanakan
cocok-tanam di ladang. Cara bercocok-tanam di daerah-daerah ini sebagian besar
memang dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau sawah.
2.2 BERCOCOK TANAM
MENETAP DI JAWA, MADURA DAN BALI
2.2.1Tipe-tipe Penggunaan Tanah
Seorang petani di Jawa, Madura atau di Bali, dalam kenyataan
menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu: (1) kebun kecil di sekitar
rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa
irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang diirigasi.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah, yang di Jawa Tengah dan Timur,
dan juga di Bali, disebut pekarangan, seorang petani menanam kelapa,
buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu dan lain-lain, yang diperlukannya dalam
kehidupan rumah-tangganya sehari-hari. Pekarangan
tentu juga mengandung tanaman yang berupa umbi-umbian dan akar-akaran
seperti berbagai jenis ubi dan singkong. Tak dapat dilupakan, bahwa di
pekarangan sering ada pula kolam ikan yang selain untuk tempat pemeliharaan
berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai
sebagai tempat buang air.
Di tanah pertanian kering, yang di Jawa biasanya disebut tegalan,
petani-petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar
atau kepada tengkulak. Tanaman itu adalah antara lain jagung, kacang kedele,
berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian, tetapi juga padi yang
dapat tumbuh tanpa irigasi.
Dengan teknik penggarapan
tanah yang intensif dan dengan cara-cara
pemupukan dan irigasi yang tradisional,
para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda
dengan cocok tanam di ladang,
maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu
bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat
hara yang terkandung di dalamnya.
TABEL
III—1: Proporsi Berbagai
Tipe Penggunaan Tanah di Jawa
Propinsi
|
Proporsi tanah
pertanian terhadap seluruh tanah
|
Ladang
|
Proporsi
Berbagai Tipe Tanah (%)
|
Pemakaian
|
||
Pekarangan
|
Tegalan
|
Sawah
|
Lain
|
|||
Jawa
Tengah Yogyakarta Jawa Timur
|
52,8
61,4
44,8
|
3,0
8,8
1,7
|
11,4
3,6
10,7
|
39,8
59,6
42,8
|
43,1
28,4 42,4
|
2,7
2,6
2,4
|
SUMBER: Sensus
Pertanian, EPS, 1963.
2.2.2 Tahap-tahap Produksi Bercocok-Tanam di Sawah
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air,
yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat
digenangi air, maka permukaannya harus mendatar sama sekali, dan dikelilingi
oleh suatu pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter.
Tiap lingkaran tahap-tahap pekerjaan bercocok-tanam itu biasanya
dimulai dengan memperbaiki bagian-bagian dari sistem irigasi, misalnya
pematang, saluran dan pipa-pipa bambu, dan kadang-kadang juga bendungan yang
merupakan sumber dari sistem irigasi bagi sekelompok sawah sekitar desa.
Pekerjaan ini adalah khusus pekerjaan laki-laki.
Langkah selanjutnya adalah membuka saluran-saluran air sehingga
air dapat mengalir dari bagian sungai yang dibendung ke sawah-sawah hingga
merata. Pembagian air ke sawah di desa-desa di daerah pegunungan di Jawa
biasanya mudah, karena air dengan mudah dapat mengalir dari sawah-sawah yang
letaknya tinggi ke sawah-sawah yang letaknya rendah.
Di Bali soal-soal irigasi pembagian air, pertengkaran mengenai
distribusi air irigasi dan sebagainya, diurus oleh suatu organisasi yang bemama
subak. Organisasi ini tidak terikat sebagai bagian dari organisasi dari
suatu perkampungan di Bali, yang disebut banjar, tetapi selalu terikat
kepada suatu kompleks atau sistem bendungan tertentu. Bendungan-bendungan ini
memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa yang luas kepada
sejumlah sawah yang tertentu juga, sedangkan pemilik sawah-sawah tadi mungkin
saja terdiri dari warga-warga berbagai banjar yang berlainan.
Sawah digenangi air selama beberapa waktu, yaitu antara satu
hingga dua minggu. Sementara itu sisa-sisa tanaman padi sebelumnya dan
tumbuh-tumbuhan lain di sawah dibersihkan. Setelah itu tanah dicangkul atau
dibajak (di banyak daerah di Jawa membajak disebut meluku) yang
kadang-kadang dikerjakan oleh orang, tetapi kadang-kadang pula oleh kerbau atau
sapi.
Untuk kedua kalinya sawah diolah dengan bajak dan cangkul, serta
dibiarkan lagi terendam air selama beberapa hari. Pematang-pematang pun sudah
diperbaiki. Biasanya bajak yang dipergunakan untuk mengolah tanah adalah milik
bersama dari sekelompok petani. Demikian juga binatang yang menghela bajak itu.
Bajak dan kerbau atau sapi itu dipakai secara bergantian oleh para petani yang
memilikinya.
Tanah yang sudah diolah untuk kedua kalinya, dan digenangi air
selama satu hingga dua minggu itu, kemudian diratakan dengan garu, yang
ditarik oleh kerbau atau sapi, tetapi seringkali juga oleh manusia. Setelah
pekerjaan ini selesai, maka sawah siap untuk ditanami dengan tunas-tunas padi
yang sementara itu sudah tumbuh di pesemaian.
Tata urut pekerjaan itu adalah sebagai berikut: mula-mula
tunas-tunas muda itu dicabut dengan hati-hati dari pesemaian, lalu diikat
menjadi beberapa ikatan yang dibagi-bagikan secara merata di tiap petak sawah.
Lalu mulailah tunas-tunas itu ditanam satu demi satu dengan tangan, menjadi
deretan-deretan yang panjang dan teratur.
Selama tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga tanaman
mereka dari berbagai tumbuh-tumbuhan liar (matun) yang dilakukan oleh
wanita, dan apabila padi sudah mulai berbuah, serangan-serangan biasanya datang
dari burung, tikus, serangga dan sebagainya.
Berapa lamanya padi berbuah dan masak, tergantung pada jenis padi
dan berbagai faktor lain. Ada jenis padi yang sudah dapat dipotong setelah
berusia empat bulan, tetapi ada pula jenis-jenis lain yang baru dapat dipanen
setelah enam bulan atau lebih. Panen selalu dikerjakan oleh wanita, dengan
menggunakan pisau kecil yang disebut ani-ani, untuk memotong
tangkai-tangkai padi itu satu demi satu.
Tiga atau empat bulan setelah panen, sementara menunggu penanaman
padi yang berikutnya, para petani menanam bermacam tanaman lain, seperti
ubi-ubian, singkong, berbagai kacang, kedele, jagung, juga padi gaga (yaitu
padi kering), sayur-mayur, tembakau, kadang-kadang juga tebu, dan bumbu-bumbu,
yang jumlahnya ada lebih dari 20 macam.
Penanaman palawija dalam sistem bercocok-tanam di sawah adalah
suatu perkembangan yang baru berlangsung kira-kira satu abad lamanya di Jawa.
Singkong atau jagung sejak lama memang menjadi tanaman utama di daerah-daerah
di Jawa dan Madura yang tidak dapat ditumbuhi padi dengan baik,[2] tetapi berbagai jenis tanaman
lain yang termasuk golongan palawija itu sekarang secara berangsur-angsur
rupa-rupanya telah diterima juga oleh rakyat desa, dan sudah mulai
diintegrasikan ke dalam sistem bercocok-tanam di sawah-sawah.
2.3 Pengerahan Tenaga Pada
Cocok-Tanam di Sawah
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan
bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem
bantu-membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah
"gotong-royong".
Di Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong
biasanya tidak hanya menyangkut lapangan
bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya
seperti:
1.
Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di
mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan
benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa.
2.
Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga,
misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah
dari hama tikus, menggali sumur, dan sebagainya, untuk mana pemilik rumah dapat
minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat, dengan memberi jamuan makan.
3.
Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu
mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya,
tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk persiapan dan penyelenggaraan
pestanya.
4.
Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk
kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan,
bendungan irigasi, bangunan umum dan sebagainya, untuk mana penduduk desa dapat
tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Di banyak daerah pedesaan
di Jawa sistem gotong-royong dalam lapangan bercocok-tanam juga berkurang, dan
diganti dengan sistem memburuh. Upah untuk membayar tenaga buruh dapat berupa
(i) upah secara adat, dan (ii) upah berupa uang.
Upah berupa uang adalah suatu cara membayar buruh tani yang sudah
lazim juga di seluruh Indonesia. Walaupun cara ini merupakan suatu sistem yang
relatif
baru di Indonesia, di Jawa sudah dikenal sejak pertengahan abad ke-19 yang
lalu. Para petani sering memiliki bantuan tenaga buruh yang tetap, yang memberi
bantuan dalam pertanian pada waktu-waktu sibuk, dan yang juga membantu dalam rumah tangga pada waktu-waktu senggang.
Masa kini, terutama dalam
produksi bercocok-tanam terjadi proses pergeseran dari cara pengarahan
tenaga bantuan di luar rumah-tangga dengan gotong-royong ke cara
dengan menyewa buruh.
TABEL
III-2. Jumlah Rata-rata Jam Kerja Bagi Tiap Individu Pada Satu Hektar Sawah di Daerah Bagelen (1958).
Aktivitas produksi
|
Tenaga gotong-royong
|
Tenaga buruh
|
Tenaga hewan
|
||
Pria
|
Wanita
|
Anak
|
|||
Mempersiapkan sawah dan
sistem irigasi*
Mempersiapkan tempat
pe-
semaian*
Menanam biji*
Membajak-mencangkul sa-
wah (dua kali)
Menggaru sawah (dua
kali)
Mempersiapkan benih*
Menanam benih
Matun*
Menuai
|
70
25
2
-
-
40
-
51
-
|
-
-
-
-
-
43
205
59
300
|
-
-
-
-
-
-
-
-
12
|
42
42
-
-
-
-
-
92
54
162
|
-
-
81
44
-
-
-
-
-
|
Total
|
188
|
607
|
12
|
350
|
125
|
SUMBER:
Penelitian lapangan Koentjaraningrat
Data
dikumpulkan dengan cara mengobservasi 10 kasus.
* Datadikumpulkan dari mulut informan yang
memiliki 36 kesatuan tanah untuk usaha-tani, seluruhnya seluas 21 hektar lebih.
Akhir-akhir ini malahan timbul keadaan yang lebih gawat lagi. Di
banyak tempat di Jawa adat para
petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka dengan buruh tani mulai
mencapai batas kemampuannya.
Mereka membantu dengan semangat gotong-royong, dan menurut adat
boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi yang mereka potong.
Kerabat-kerabat dan para teman dekat yang turut
membantu seringkali menerima seperenam sampai seperlima bagian; tetangga atau
kenalan jauh menerima seperdelapan sampai sepersepuluh bagian; dan
wanita-wanita yang pekerjaannya memang buruh pemotong padi dan yang setiap
musim panen berkeliling dari desa yang satu ke desa lain untuk memotong padi,
menerima sekitar sepersepuluh bagian dari hasil yang mereka potong. Bagian yang
diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh pemotong tadi disebut dengan
istilah adat Jawa, bawon.
Pada zaman sekarang, di mana jumlah kerabat, tetangga, kenalan dan
buruh yang datang membantu memotong padi itu sudah sekitar 40 orang, tentu
sangat berat bagi petani pemilik sawah itu untuk mempertahankan adat
berdasarkan sistem gotong-royong bawon itu.
Contoh lain dari proses tergesernya adat
gotong-royong oleh sistem baru dengan menyewa buruh tani wanita adalah adat
menumbuk padi secara tradisional.
Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga
tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani, antara lain
terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di Jawa.
Dalam contoh terakhir, adat pengerahan tenaga
pembantu dalam produksi pangan tergeser oleh teknologi baru, namun pada umumnya
proses penggeseran cara pengerahan tenaga tani dan gotong-royong menjadi
menyewa buruh tani itu, antara lain disebabkan karena tenaga buruh tani itu
menjadi sangat murah.
Adapun sangat murahnya biaya menyewa buruh tani
itu disebabkan karena makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang
sangat kecil sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu
keluarga Jawa sepanjang musim.
2.4
Fragmentasi Sawah di Jawa, Madura dan
Bali
Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat itu,
terutama di Jawa memang merupakan sebab utama dari proses makin kecilnya usaha
tani secara rata-rata. Menurut sensus pertanian 1963, tanah milik petani di
Jawa dan Madura adalah rata-rata 0,7 hektar. Tanah pertanian berupa sawah atau
tegalan yang sudah demikian kecilnya itu pada umumnya kemudian dipecah-pecah
lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
Fragmentasi yang sifatnya ekstrim seperti itu
terjadi karena petani pemiliknya membagi-bagi tanahnya untuk digarap oleh
sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara. Di antaranya ada cara yang
paling tradisional, yaitu ketiga adat bagi-hasil: maro, mertelu dan merpat.
Pada adat maro, petani yang menggarap tanah akan menerima separuh
dari hasilnya, dan pajak tanah ditanggung oleh pemiliknya, sedangkan biaya
produksi oleh si penggarap. Pada adat mertelu, perjanjian pembagian
hasil adalah duapertiga bagi si pemilik tanah dan sepertiga bagi penggarap, dan
mengenai biaya-biayanya perjanjiannya adalah sama seperti pada adat maro. Pada
adat merpat, pemilik tanah memperoleh tigaperempat bagian tetapi harus
membayar pajak tanah dan menanggung sebagian dari biaya produksi, dan penggarap
hanya menerima seperempat bagian dari hasil, dan membayar sisa dari biaya
produksi.
Fragmentasi sekarang juga terjadi karena di
samping membagi hasil
bagian-bagian dari tanahnya kepada sejumlah petani lain, seorang petani pemilik
seringkali juga menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga dengan
demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga
berupa uang tunai.
Proses fragmentasi tanah di Jawa dan Madura
memang berjalan terus, dan dengan demikian maka tanah pertanian milik para
petani itu menjadi semakin kecil juga. Sensus pertanian 1963 juga menunjukkan
bahwa dari 7,94 juta unit tanah milik petani di Jawa dan Madura, hanyalah 1,43
juta digarap sebagai kesatuan yang utuh; 5,11 juta unit tanah milik petani
terpecah untuk penggarapannya menjadi dua sampai tiga bagian; 1,07 juta
terpecah ke dalam empat sampai lima bagian; 0,3 juta ke dalam enam sampai
sembilan bagian; dan 0,02 juta bahkan terpecah ke dalam sepuluh bagian atau
lebih (Brand 1969: hlm. 315).
2.4.1 Konsep Geertz Tentang Involusi Pertanian
Ahli antropologi terkenal, C. Geertz, yang pernah
melakukan penelitian mengenai sejarah ekonomi pertanian di Jawa, pernah
mengembangkan konsep "involusi pertanian", atau agricultural
involutin, yang dipakainya untuk menggambarkan proses sejarah pertanian di
Jawa sampai dasawarsa 50-an yang lalu. Uraian mengenai konsep itu termaktub
dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Agricultural Involution (1963).
Pada halaman 80 dari buku itu Geertz merumuskan definisi yang berbunyi sebagai
berikut:
"Wet-rice cultivation, with its
extraordinary ability to maintain levels of marginal productivity by always
managing to work one more man in without a serious fall in per-capita income,
soaked up almost the whole of the additional population that Western intrusion
created, at least indirectly. It is this ultimately self-defeating process that
I have proposed to call agricultural involution."
Definisi tersebut memang kurang jelas, tetapi
dari uraiannya lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya dalam buku itu, tampak
bahwa Geertz membayangkan perkembangan pertanian sawah di Jawa sebagai suatu keadaan
di mana para petani yang menggarap bidang-bidang tanah yang memang sudah kecil
dan tak dapat dijadikan lebih besar lagi itu, toh masih terkena tekanan
pertambahan penduduk secara terus-menerus. Jadi walaupun tingkat kemakmuran
para petani di Jawa dan Bali tidak pernah akan dapat meningkat, namun
intensifikasi kerja tadi itulah yang menambah hasil panen, dan bukan karena
cara kerja yang lebih keras yang dilakukan para petani itu, melainkan cara
kerjasama, yang dilakukan oleh tenaga petani yang lebih banyak jumlahnya.
Tambahan itu memang tidak banyak, namun dapat dinikmati secara rata. Dengan
merasakan kemiskinan bersama (shared poverty) itulah penderitaan dapat
dikurangi.
Secara teori hal itu berarti bahwa produksi naik
apabila ditinjau dari aspek tanah dan dihitung per hektar tanah, tetapi konstan
atau bahkan turun bila ditinjau dari aspek tenaga dan dihitung per individu.
Van den Muijzenberg menyarankan bahwa dalam
menganalisa proses perkembangan pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang
kecil dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya seperti
di Luzon Tengah atau di Jawa, seorang peneliti sebaiknya membedakan secara
tajam antara aspek produksi dan aspek konsumsi. Dalam produksi petani seringkali dapat meningkatkan
hasil panen dengan mempekerjakan lebih banyak tenaga manusia dalam prosesnya.
Untuk menyebut aspek yang mengenai aspek produksi ini Van den Muijzenberg
menerima istilah Geertz agricultural involution. Namun, hasil panen
yang bertambah sebagai akibat intensifikasi penggarapan tanah tadi, dibagi rata
antara para petani yang juga bertambah jumlahnya. Untuk menyebut aspek mengenai
konsumsi ini, Van den Muijzenberg menyarankan untuk mempergu-nakan istilah
Geertz yang kedua yaitu shared poverty. Dengan demikian Van den
Muijzenberg berusaha mempertajam konsep cultural involution dengan
memisahkannya dari konsep shared poverty. Dalam konsepsi Geertz,
perbedaan yang tajam itu tidak ada.
2.5 MOBILITAS KOMUNITAS DESA
2.5.1 Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian
Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor pertanian,
dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak terdapat
sumber mata pencaharian hidup yang lain. Penduduk desa pada umumnya juga
terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan
mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan
primer dan sekunder. Tetapi banyak pula desa-desa, terutama di Jawa, di mana
sebagian besar penduduknya bekerja di luar
sektor pertanian.
Seorang petani yang tidak memiliki tanah mungkin juga memiliki
sebuah warung yang diusahakan oleh isterinya, sedangkan ia sendiri pada awal
musim bercocok-tanam sibuk bekerja sebagai buruh tani pada petani-petani lain
yang biasanya berasal dari desa lain. Sering juga petani yang tidak memiliki
tanah itu menjadi buruh pekerja jalan atau pekerja bangunan selama suatu jangka waktu yang pendek, yaitu misalnya selama tiga bulan, berdasarkan suatu kontrak.
Dalam hampir semua komunitas desa, semua anggota pamong desa dan
para guru desa, pasti memiiki tanah sawah dan tegalan. Sebagian dari tanah itu
mereka sewakan, mereka dibagi-hasilkan, atau mereka gadaikan kepada petani
lainnya, tetapi sebagian lagi selalu mereka
kerjakan sendiri. Dengan demikian mereka lebih seringg
berada di sawah atau tegalan mereka daripada di belakang meja tulis atau ruang kelas. Meskipun demikian mereka lebih senang
mengidentifikasi dirinya sebagai pegawai pamong praja karena dalam kebudayaan
Indonesia pada umumnya, dan kebudayaan petani Jawa pada khususnya, menjadi
pegawai membuatnya lebih gengsi daripada menjadi petani.
Desa-desa di Jawa yang ada di sepanjang
jalan-jalan raya dekat pabrik-pabrik pusat industri atau dekat kota-kota kecil
atau besar, biasanya kurang-lebih terpengaruh oleh gaya hidup kota. Banyak penduduk
desa dengan lokasi seperti tersebut di atas itu memiliki atau berhasrat memiliki rumah gaya kota, lengkap dengan lantai
tegel atau setidak-tidaknya lantai semen, jendela kaca, atap seng atau genting
dan perabot rumah seperti yang dimiliki
orang kota.
2.5.2 Mobilitas Geografis
Pola-pola, mata pencaharian
dan aktivitas pekerjaan di luar sektor pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang
sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa.
Hal ini telah dilukiskan dalam suatu laporan penelitian mengenai kehidupan
komunitas-komunitas desa sekitar Jakarta (Koentjaraningrat 1975), yang juga
termuat dalam bagian ke III dari buku bunga rampai ini. Dalam bagian yang
khusus memuat karangan-karangan mengenai migrasi, transmigrasi dan urbanisasi
itu, masalah mobilitas geografikal dari penduduk komunitas desa di Indonesia
akan dibahas lebih mendalam.
2.6 KOMUNITAS
DESA DAN DUNIA DI LUAR DESA
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di
Indonesia, dari daerah Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan
pusat tertentu. Banyak di antaranya
telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan
tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris,
dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir
ini. Dengan demikian, juga karena makin berkembangnya kesempatan dan prasarana
untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi, pada waktu
sekarang ini hampir tidak ada lagi komunitas desa bersahaja yang terisolasi di
negara kita ini, yaitu desa dengan penduduk yang tidak sadar akan adanya dunia
di luar desa itu.
Walaupun
demikian kesadaran akan
adanya suatu dunia luas di luar
komunitas desa sendiri perlu dianalisa, lepas dari jangkauan
hubungan dari para
petani pedesaan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu di dunia
luar itu tadi, sedangkan kesadaran tadi itu juga belum berarti bahwa para petani
pedesaan itu juga mempunyai perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar
itu.
Pada hemat saya, suatu konsep yang sangat cocok
untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani
pedesaan mengenai dunia di luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya di sana, adalah konsep yang dikembangkan oleh ahli
antropologi-sosial J.A. Barnes mengenai "lapangan lapangan sosial" atau social fields (1954). Menurut konsep itu, petani desa
pun dalam kehidupan sosialnya dapat
bergerak dalam "lapangan-lapangan sosial" yang berbeda-beda, menurut
keadaannya yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu
banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosialnya dalam
"lapangan hidup" pertanian. Dalam hubungan sosial ini termasuk kerabatnya yang terdekat, tetangganya,
kenalan-kenalannya yang memiliki
tanah pertanian dekat pada tanah pertaniannya sendiri, penduduk
dukuh-dukuh lain yang
juga menjadi anggota organisasi irigasi subak yang sama, para pemilik tanah yang tanahnya sedang digarap
atas dasar bagi-hasil, dan para buruh tani yang berasal dari desa-desa lain
pada musim panen.
Dengan mempergunakan konsep "lapangan
sosial" sebagai jaringan-jaringan hubungan para petani pedesaan, seorang
peneliti dengan demikian dapat membuat suatu deskripsi kongkrit secara
kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan-lapangan
sosial para petani yang berdasarkan sifat, ruang lingkup,
intensitas, serta frekuensi dari hubungan-hubungannya.
Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau
kelompok-kelompok tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap
orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan
oleh sifat dari "lapangan sosial" yang menjadi lapangan hidup serta
lapangan orientasi mereka. Jika para ahli antropologi tadi mengadakan
pengamatan mereka sekarang, dalam dasawarsa 70-an ini, mereka mungkin akan
melihat bahwa perhatian terhadap masalah-masalah di luar lokalitas desa mereka
sudah banyak, dan karena itu pola-pola "lapangan sosial" orang desa
sudah mempunyai ruang-lingkup yang jauh lebih luas. Sebaliknya, masalah apakah
loyalitas nasional para petani di berbagai daerah pedesaan di Indonesia juga
sudah berkembang adalah hal yang memang masih perlu diteliti lebih mendalam.
Loyalitas etnik adalah masalah yang lain lagi.
Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki
loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak
kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia
biasanya dihuni oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga
suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat
desa itu.
Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masyarakat
desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya
kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan "lapangan-lapangan
sosial" dengan ruang-lingkup lokal. Dengan demikian kecenderungan
orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat terjaga. Juga usaha pengembangan
loyalitas nasional pada penduduk desa di Indonesia sebaiknya merupakan usaha
pengembangan lebih lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah
lokal. Dalam hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas
lokal.
2.7 SOLUSI
Seharusnya manusia bersikap bijak kepada alam, apabila para masyarakat
pedesaan ataupun para petani ingin membuka lahan untuk dikelola sebagai lahan
pertanian harus menggunakan kaidah-kaidah pertanian yang memperhatikan
lingkungan. Tidak hanya mengambil keuntungan dari alam akan tetapi harus
memberikan manfaat bagi alam.
Sebaiknya dalam
menganalisa proses perkembsngsn pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang
kecil dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya seperti
di pulau Jawa, seorang peneliti sebaiknya membedakan secara tajam antara aspek
produksi dan aspek konsumsi.
Para petani seharusnya
tidak bergantung hanya kepada hasil pertanian namun juga harus mendirikan
usaha-usaha kecil yang dapat menambah penghasilan dari lahan pertanian. Agar pertanian
di Indonesia khususnya di daerah pedesaan berkembang dan maju para petani harus
lebih membuka wawasan dan mau menerima hal-hal baru yang bermanfaat demi
pengelolaan pertanian.
BAB 3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
1.
Terdapat 3
macam tanah pertanian, yaitu kebun kecil di sekitar rumah, tanah pertanian
kering tanpa diirigasi dan tanah pertanian basah yang diirigasi.
2.
Bercocok
tanam di sawah sangat bergantung pada pengaturan air, yang dilakukan dengan
suatu sistem irigasi yang kompleks.
3.
Salah satu
cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam secara
tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu membantu yang di
Indonesia dikenal dengan istilah “gotong royong”.
4.
Laju
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat merupakan sebab utama dari proses makin
kecilnya usaha tani secara rata-rata.
5.
Penduduk desa
pada umumnya juga terlibat pada macam-macam pekerjaan diluar sektor pertanian
dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu bersamaan yakni sebagai
pekerjaan primer dan sekunder.
6.
Loyalitas
etnik adalah masalah baru yakni semua penduduk pedesaan di Indonesia secara
primordial memiliki loyalitas etnik terhadap suku bangsa masing-masing, karena
sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku
bangsa itu.
DAFTAR PUSTAKA
BIBLIOGRAFI
Adam, L.
1924 De
Autonomie van het Indonesische Corp. Amersfoort, S.W. Melchior (Dissertasi
Universitas Leiden).
Adiwilaga
1954 Land
Tenure in the Village ofTjipagalo. Bandung, Kantor Perantjang Tata Bumi
Barnes, J.A.
1954
Class and Committees in a Norwegian Island Parish. Human Relations, VII,
him. 39-58.
Bennet, D.C.
1957 Population
Pressure in East Java. Syracuse, N.Y. (Naskah ketik dissertasi untuk
Universitas Syracuse).
Birowo, A.T.
1973
Aspek Kesempatan Kerja Dalam Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Prisma,
II-4: him. 3-15.
Collier,
W.L.
1979 Policy
Implications of Declining Labor Absorption in Javanese Rice Production. Kuala
Lumpur (Makalah untuk Southeast Asia's Third Biennial Meeting of the
Agricultural Economic Society).
Collier,
W.L., Gunawan Wiradi, dan Soentoro
1973
Recent Changes in Rice Harvesting Methods. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, IX: him. 36-45.
Collier, W.L., Soentoro, Gunawan Wiradi, dan
Makali
1974 Agricultural
Technology and Institutional Change: An Example in Java. Food Research
Institute Studies in Agricultural Economics, Trade and Development, Stanford
University.
Dam,
H. ten
1956 Coopereren Vanuit het Gezichtspunt der
Desastructuur in Desa Tjibodas, Indonesian, IX: him. 89-116.
Terjemahannya dalam bahasa Inggeris dengan judul "Cooperation and Social
Structure in the Village of Tjibodas" diterbitkan dalam Indonesian
Economics. The Hague, W. van Hoeve. Selected Studies on Indonesia by Dutch
Scholars, VI. him. 345-382.
Djojopranoto,
R. Ng. A.,
1958
Persaingan Tanaman Perdagangan di Daerah Surakarta Dan Sekitarnja.
Chusus-nja Daerah Klaten. Teknik Pertanian, XI-12: him. 517.
Guritno Pandam .
1958 Masjarakat
Marangan. Jogyakarta, Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada
(Naskah roneo).
Harts-Broekhuis,
A., dan H.Palte-Gooszen
1977 Demografische
Aspekten van Armoede in een Javaans Dorp, Jambidan, D.I.Y. Utrecht,
Geografisch Instituut Rijksuniversiteit te Utreecht.
Jay, R.R.
1969 Javanese Villagers:
Social Relations in Rural Modjohuto.
Cambridge, Mass., The M.I.T. Press.
Kasniyah,
N.
1978 Pengaruh
Mesin Penggiling Padi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Wanita Buruh Tumbuk
Padi. Masyarakat Indonesia, V/2: halaman 161-172.
King, D.Y.
1973 Social
Development in Indonesia: A Macro Analysis. Jakarta, Biro Pusat Statistic
Koentjaraningrat
1961 Some Social-Anthropological Observations
on Gotong-Royong Practices in Two Villages of Central Java. Ithaca, N.Y. Cornell
University Modern Indonesia Project. Monograph Series.
1967 Tjelapar:
A Village in South Central Java, Villages in Indonesia. Koentjaraningrat
editor. Ithaca, N.Y., Cornell Univesity Press.
1974
Non-Farming Occupations in Village Communities. Masyarakat
Indonesia, I: him. 45-61.
1975
Anthropology in Indonesia: A
Bibliographical Review. 'sGravenhage, Martinus Nijhooff.
1977
Sistem Gotong Royong Dan Jiwa Gotong
Royong. Berita Antropologi IX/30:
him. 4-16.
Kolff,
G.H. van der
1937 De
Historische Ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een
Afgelegen Streek op Java: Voorlopige Resultaten van Plaatselijk Onderzoek, Volkskredietwezen:
hlm. 3-70.
Kuntowijoyo
1971
Economic and Religious Attitudes of Entrepreneurs in a Village Industry:
Notes on the Community of Batur. Translate by N. Nakamura. Indonesia, XII:
hlm. 47-55.
Muijzenberg,
D.D. van den
1976
Involution or Evolution in Central Luzon, Cultural
Anthropology in the Netherlands. P. Kloos, HJ.M. Claessens editors.
Rotterdam, Nederlandsche Sociolo-gische en Antropologische Verenjging. Afdeling
Culturele Antropologie/Niet-Westersche Sociologie.
Penny, D.H., M. Singarimbun
1973 Population
and Poverty in Rural Java: Some Economic Arithmatic From Shihardjo, Ithaca,
N.Y.: Dept. of Agricultural Economics, Cornell University.
Redield,
R.
1956 Peasant
Society and Culture, Chicago: Chicago University Press.
Roll, W.
1977
Die Agrarische Grndbezit Vergassung uin Raume
Surakarta: Untersuchungen zur Agrar und Sozial-struktur Zentral-Javas, Website Institut
fur. Asienkunde, Hamburg.
Skinner,
G.W. (editor)
1959 Local,
Ethnic and National Loyalties in Village Indonesia: A Symposium, New
Haven: Yale University Southeast Asia Studies.
Soemardjo
Hadiwidnjo
1950 Desa
Tjandi, Kelurahan Purwobmangun. Jogyakarta. Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada (Naskah roneo).
Terra, G.J.A
1952 Tuinbouw
in Indonesia 'sGravenhage: W. van Hoeve
1932-a De Voeding der Bevolking en de Erfcultuur, Kolomale
Studien, XVI. hlm. 593. Tiken, J.
1976. Guru Desa Een
Sociologisch-Anthropologische Benadering van de Sociale Posi-tie van Onderwijzend
Personeel en Zijn Rol in de Dorpssamenleving van Midden-java Amsterdam:
Universiteit van Amsterdam (Naskah skripsi Sarana Universitas Amsterdam).
Timmer, M.
1961 Chld Mortality and Population Pressure in D.I. Jogyakarta,
Java, Indonesia. Rotterdam:
Bronder Offset.
Vries, E. de
1927 On twikkling van de Erfucltuur, De Indische
Culturen … : hlm. 496-656.
White, B.
1973 Peranan Anak Dalam Ekonomi Desa, Prisma,
II-4: hlm. 44-59
1985 The Economic Importance of Children in
Jaanese Village, Population and Social Organization, Moni Nag editor. The
Hague. Mouton.
1976 Production and Reproduction in a Javanese
Village, New York (Dissertasi Ph.D. Antropologi, Universitas coulombia).
1976 Problems of Estimating the Value of Work in
Peasant Houshold Economics: An Example from Rural Java. Bogor (Naskah roneo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar