BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah yang menjadi tempat hidup bagi masyarakat Dayak yang menyebar luas di Pulau Kalimantan . Dengan potensi sumber daya alam di Kalimantan yang didominasi oleh pertaninan, maka masyarakat Dayak dengan sendirinya merupakan bagian dari subjek pembangunan pertanian di wilayah ini. Permasalahan selama ini adalah bahwa masyarakat Dayak kurang memiliki keberuntungan dalam hal kesempatan memperoleh akses informasi dibandingkan komunitas lainnya, seperti Melayu, Jawa dan Madura yang ada di Kalimantan Barat. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah adanya kecenderungan kurangnya lembaga pemerintahan maupun swasta dalam mengikutsertakan komunitas Dayak dalam program pembangunan pertanian di wilayahnya karena kesulitan dalam mengakses wiilayahnya yang banyak tersebut didaerah pedalaman dan tepi hutan.
Hal ini semestinya dipandang sebagai tantangan dalam melaksanakan pembangunan pertanian, karena komunitas Dayak memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengakses informasi dan inovasi teknologi. Mengingat bahwa komunitas Dayak meruupakan komunitas terbesar di Kalimantan Barat sangat tergantung kepada partisipasi mereka. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah Kalimantan Barat dengan demikian mesti memanfaatkan hak ulayat tanah mereka. Seperti diungkapkan Singarimbun (1992), masyarakat Dayak memiliki hak ulayat yang sama seperti suku bangsa lainnya di Indonesia .
1.1 Rumusan Masalah
- Hal apa saja yang menghambat proses pembangunan pertanian
- Bagaimana Kondisi komunitas Dayak di Kalimantan Barat
- Bagaimana strategi, komunikasi pembangunan pertanian yang sesuai bagi komunitas Dayak
1.2 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Penduduk Kalimantan Barat terdiri dari berbagai komunitas masyarakat (multi-etnis), dimana tiga etnis terbesar adalah etnis Dayak, Melayu dan Jawa. Komunitas Dayak memiliki populasi yang terbesar disbanding yang lain dan hidup menyebar di wilayah Kalimantan Barat.
Namun masih lemahnya perhatian dan pemberdayaan masyarakat Dayak dengan sendirinya menjadi hal yang mengahmbat proses pembangunan pertanian secara menyeluruh di Kalimantan Barat. Kesadaran akan pentingnya pemerataan kesempatan dalam pencapaian tingkat kesejahteraan hidup yang lebih baik saat ini menjadi hak bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya komunitas Dayak (Nihin, 2005). Masyarakat Dayak memiliki hak untuk menjadi pelaku pembangunan pertanian saat ini, terlebih dalam konteks program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPKI) dan Revitalisasi Penyuluhan.
1.1 KONDISI KOMUNITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT
1.1.2Keberadaan Komunitas Adat Dayak
Menurut konvensi ILO nomor 169 jo World Bank OD.4.20, untuk mengidentifikasi “indegeneous people” sebagai upaya merumuskan “komunitas adat" (Djuweng, 1997) dicirikan oleh berbagai hal yaitu : (1) memiliki keterikatan dengan wilayah asal-usulnya serta dengan sumber daya alam di wilayah tersebut, (2) adanya identifikasi diri yang kuat oleh masyarakat lain sebagai sebuah kelompok kebudayaan yang tersendiri/berbeda, (3) mempunyai bahasa asli sendiri yang sering berbeda dengan bahasa nasional yang berlaku, (4) masih berlakunya kelembagaan sosial dan politik adat, serta (5) sistem produksi masih berorientasi pada pemenuhan subsistensi.
Dari terminologi diatas, maka berbagai komunitas yang hidup di Kalimantan Barat dapat dibedakan dengan komunitas adat lainnya. Penduduk Kalimantan Barat secara etnografi dari berbagai komunitas yang beragam yaitu suku Dayak, Melayu Sambas, keturunan Tionghoa, Jawa, Melayu Pontianak, Madura, Bugis, Sunda, dan yang lainnya. Komunitas dayak merupakan yang paling besar (37,31 persen) yang menempati hampir di seluruh wilayah di Kalimantan Barat.
Secara umum, dibandingkan dengan suku-suku lain, komunitas Dayak banyak menempati wilayah pedalaman, Komunitas Melayu tersebar di wilayah pesisir, sedangkan komunitas lain berada di kota Pontianak dan sekitarnya (Akil, 2005). Wilayah pedalaman yang banyak didiami komunitas Dayak secara administrative berada pada wilayah Kabupaten Sekadau, Sanggau, Sintang, Landak, Melawi, Kapuas Hulu, Bengkayang, Ketapang, Kayong Utara dan sebagian Kabupaten Pontianak. Keseluruhan wilayah tersebut merupakan wilayah yang sebagian besar masih merupakan hutan sedang, lading dan semak belukar. Kondisi mereka yang terkendala secara geografis merupakan penyebab lemahnya akses terhadap sumber informasi termasuk informasi teknologi dan pasar komoditas pertanian.
1.1.3Karakteristik Komunitas dan Budaya Dayak
“Dayak” adalah nama kolektif yang kemudian membentuk sebuah label etnik untuk menyebut kira-kira 450 suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan (Borneo ). Untuk memahami kultur Dayak tidak cukup dengan hanya mempelajari aspek hukum adat, bahasa dan ritus kematiannya. Antar subsuku, kita pun dapat menemukan cirri yang khas yang menjadi pembeda antara mereka. Misalnya, kita dapat menambahkan factor tempat tinggal, nama sungai dan kesamaan musik antara kelompok kecil yang disebut subsuku-subsuku pada komunitas Dayak (Djuweng dan Krenak, 2005).
Dari sisi bahasa, masing-masing subsuku memiliki bahasa yang berlainan. Meskipun struktur pengorganisasian berbeda pada setiap subsuku, namun setiap subsuku memiliki kesamaan yaitu adanya tokoh adat. Para tokoh adat memiliki peran sebagai panutan yang dijadikan acuan dalam bersikap dan berperilaku di lingkungan masyarakatnya. Muslim (1991) mengungkapkan bahwa di Kalimantan Barat terdapat beberapa sebutan bagi tokoh adat Dayak, yaitu Kendayan (pada suku subsuku Kanayant), Dewan, Tumenggung, Pasirah, Pangaraga, Taman, Toa-Toa Adat Kuntuk, Kepala Kampung, dan Penuai Adat. Keberadaan para tokoh adat tersebut erat kaitannya dengan eksistensi dan berjalannya hukum adat. Menurut tata aturan yang dipedomi, tokoh adat tersebut dapat menjadi Dewan Adat, misalnya pada subsuku Dayak Kanayant (Yusnono, 2005).
Dalam posisi demikian, maka sesungguhnya tokoh adat dapat menjadi sumber informasi yang diakui oleh komunitasnya, sehingga hal ini menjadi potensi dalam membedayakan dan mengembangkan pembangunan pertanian secara umum. Dengan melibatkan secara patisipatif tokoh adat untuk memberdayakan komunitasnya, maka komunikasi pembangunan dapat lebih efektif.
Komunitas Dayak sebagian besar merupakan petani ladang. Praktek pertanian yang mereka jalankan secara nyata merupakan usaha tani yang berkelanjutan dengan memelihara kelestarian alam. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan lahan untuk berladang dilakukan dengan penuh perhitungan mengingat ladang merupakan sumber pangan yang penting bagi kelangsungan kehidupan komunitasnya. Selain itu, mereka memahami bahwa pemilihan lahan yang kurang tepat akan mempengaruhi hasil panen. Karena itu mereka memerlukan waktu hingga berbulan-bulan untuk menentukan lokasi ladang yang baik dengan memperhatikan kemiringan lahan, kesuburan tanah dengan indicator warna tanah dan vegetasi yang tumbuh di lahan tersebut (Soedjito, 1996). Hal ini merupakan indicator bahwa betapa mereka sangat mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya lahan yang merupakan asset ekonomis mereka yang paling berharga.
Deskripsi ini mematahkan anggapan yang keliru selama ini mengenai kerusakan hutan yang diangggap disebabkan oleh komunitas Dayak karena merupakan pola ladang berpindah. Kesalahpahaman ini salah satunya disebabkan karena terbatasnya akses komunikasi antara komunitas Dayak dengan masyarakat di luar komunitasnya. Pemahaman masyarakat luar yang masih terbatas terhadap prinsip dan praktik ladang berpindah, disebabkan karena terkendalanya masyarakat Dayak itu sendiri untuk mengkomunikasikan secara berimbang apa dan bagaimana sesungguhnya praktek pertanian yang mereka jalankan. Kelemahan dalam berkomunikasi tersebut disebabkan oleh banyak kendala, baik karena lemahnya kemampuan dalam menyampaikan maupun lemahnya penguasaan terhadap saluran komunikasi yang ada.
1.2 STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG SESUAI BAGI KOMUNITAS DAYAK
Komunikasi yang memuat berbagai informasi pembangunan, serta dari sisi sebaliknya, yaitu mengkomunikasikan apa permasalahan dan kebutuhan masyarakat dari bawah : merupakan hal yang esensial dalam pembangunan pertanian. Setiap strategi komunikasi bertolak atas berbagai asumsi dan mensyaratkan kondisi tertentu. Permasalahannya selama ini adalah dimana asumsi dan persyaratan tersebut tidak selalu sesuai dengan kondisi yang riel di tengah masyarakat yang sangat beragam, sehingga kelompok masyarakat tersebut menjadi terpinggirkan dari sistem komunikasi yang ada.
1.2.2 Konsep dan Strategi Komunikasi Pembangunan
Komunikasi di dalam aktifitas pembangunan, khususnya pada bidang pembangunan pertanian menurut Hornik (1988), memiliki beberapa peran diantaranya adalah sebagai penghubung antar kelembagaan, penguat pesan, dan sekaligus sebagai akseletator dalam berinteraksi. Dalam konteks komunikasi pembangunan pada komunitas Dayak, maka ketiga peran komunikasi tersebut merupakan hal penting yang menjadi acuan dalam membuat strategi komunikasi yang akan diaplikasikan. Ketiga peran komunikasi tersebut dinggap penting karena hal tersebut merupakan jawaban dari kelemahan yang terjadi hingga saat ini, yaitu masih rendahnya akses komunikasi, khususnya di dalam pembangunan pertanian bagi komunitas Dayak di Kalimantan Barat.
Berbagai bentuk materi komunikasi yang selama ini tersedia sesungguhnya belum dapat dipahami atau diakses dengan optimal oleh orang Dayak. Materi komunikasi dari luar baik berupa materi bercetak maupun elektronik, seperti brosur, leaflet, majalah atau program radio dan televise, tidak dapat diakses baik secara fisik maupun dari sisi komunikasi. Kendala dari sisi fisik disebabkan karena keberadaan masyarakat Dayak yang tidak terjangkau secara geografis, sedangkan kendala dari sisi berbahasa menyebabkan mereka tidak dapat memahami isi (content) yang terkandung didalamnya.
Konsep dan strategi pembangunan yang selama ini dijalankan, yang cenderung seragam secara nasional, belum mampu menjangkau komunitas Dayak secara memadai. Hal ini disebabkan karena strategi komunikasi informasi yang dijalankan dari atas ke bawah tersebut berbentuk seragam padahal kondisi penerima (audiens) sangat beragam. Lebih jauh, berbagai asumsi dan prasyarat penerima (receiver) dari kebijakan strategi komunikasi tersebut tidak mampu dipenuhi oleh sebagian masyarakat, termasuk oleh masyarakat Dayak.
1.2.3 Pengembangan Strategi Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok merupakan salah satu bidang yang menjadi perhatian kalangan ahli komunikasi untuk mengembangkan komunikasi kelompok pada satu masyarakat tertentu juga dibutuhkan strategi tersendiri yang berbeda dengan komunikasi kelompok di masyarakat lain. Dalam komunikasi kelompok, peranan individual yang berada didalamnya berbeda-beda, tergantung kepada posisi dan wewenangnya dalam kelompok tersebut.
Dalam pembangunan pertanian, Rogers (1983) mengungkapkan bahwa peranan innovator akan sangat berpengaruh dalam terjadinya difusi dan adopsi suatu inovasi teknologi pertanian. Pada berbagai subsuku Dayak, meskipun sebutan bagi tetua atau tokoh adatnya berbeda-beda, namun memiliki peranan yang sama yaitu sebagai panutan yang diikuti oleh komunitasnya.
Karena itulah, peran tokoh adat tersebut dapat dijadikan pintu masuk (akses), penghubung atau liaison person antara komunitasnya dan luar komunitasnya dalam penyampaian informasi dan inovasi teknologi. Fungsi liaison tersebut menjadi penting karena dapat menyampaikan dan menerima inovasi teknologi pertanian dari atau kepada komunitasnya. Selain itu, peran tokoh adat sebagai panutan dan pemimpin dalam komunitasnya akan dipercaya untuk menyampaikan informasi dari komunitasnya ke luar komunitasnya, dan sebaliknya untuk menyampaikan inovasi dari luar komunitasnya ke dalam komunitasnya sendiri.
Pola komunikasi yang perlu dikembangkan dalam pemberdayaan tokoh adat sebagai liaison person tersebut adalah berupa pemberdayaan komunikasi kelompok komunitasnya.
Untuk lebih mengoptimalkan efektifitas komunikasi, hal lain yang dapat dilakukan adalah melakukan pemberdayaan terhadap tokoh adat sebagai innovator bagi komunitasnya. Khusus untuk komunitas Dayak, diharapkan nantinya jika terdapat informasi dan inovasi pertanian dari luar komunitas mereka maka peran tokoh adat tersebut diharapkan akan lebih efektif. Efektifitas tersebut dicapai karena posisi dan otoritasnya di tengah komunitasnya tentu lebih diakui dan diperhatikan oleh anggota komunitasnya.
Namun demikian, pola penyampaian inovasi tersebut selayaknya dilakukan secara partisipatif dan tanpa paksaan. Sebagai contoh, untuk menyampaikan inovasi berupa introduksi varietas tanaman yang cocok bagi lahan tempat komunitas Dayak berada, maka dengan penyampaian dan didiskusikan dengan tokoh adat maka akan tercapai kesekapakatan apakah varietas tersebut tepat dari segi sosial budaya komunitasnya. Selanjutnya inovas dibahas didalam pertemuan komunitasnya, sehingga tercapai pemahaman bersama akan inovasi tersebut. Selanjutnya dalam tahap pelaksaan dari keputusan tersebut, keberhasilan dan kegagalan yang didapatkan dari inovasi pada akhirnya merupakan pelajaran bagi komunitas tersebut, yang dirasakan dan dinikmati bersama oleh komunitasnya sebagai akibat dari keputusan bersamanya. Kegagalan implementasi suatu inovasi teknologi akan diterima secara lapang dada tanpa menyalahkan pihak manapun.
1.2.4 Pengembangan Strategi Komunikasi Massa
Di dalam pembangunan negara-negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat pertanian, diperlukan paradigma pembangunan baru yang memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah pemerataan penyebaran informasi dan keuntungan sosial ekonomi (Rogers , 1976).
Kaitan dengan hal tersebut, maka pemerintah selaku penyelenggara Negara memiliki tanggung jawab untuk membuka akses informasi dan inovasi teknologi terhadap warga negaranya, termasuk dalam hal ini adalah komunitas Dayak.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam membuka akses informasi dalam rangka percepatan diseminasi tersebut adalah dengan pemberdayaan komunikasi massa melalui media massa , seperti media televisi dan radio. Komunitas Dayak pada dasarnya menyenangi bidang seni, hal ini ditandai dengan adanya berbagai jenis tarian, pakaian adat, bahasa dan pemilihan warna dalam pakaian, simbol dan ukiran (Muslim dan Frans, 1992). Media radio sebagai perangkat komunikasi massa pada decade 1970-1980 telah terbukti dapat menjadi salah satu ujung tombak dalam mendukung pembangunan pertanian di Indonesia dengan berfungsinya Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) yang berperan kuat dalam menyampaikan informasi pertanian (Soesanto, 1982).
Hal yang telah terbukti positif tersebut dapat diberdayakan kembali dengan memanfaatkan media radio dalam menyampaikan informasi inovasi teknologi pertanian yang bersifat dua arah (two way communication) dan interaktif. Efektifitas komunikasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahasa pengantar lokal (bahasa Dayak) dan musik-musik pengantar dari suku Dayak.
Untuk informasi berkenaan dengan pembangunan pertanian, dengan pengemasan materi komunikasi yang tepat, maka informasi dan inovasi teknologi bagi komunitas Dayak dapat terbuka lebar dan dapat dengan mudah dan relatif murah diakses. Pada gilirannya hal ini akan dapat lebih memberdayakan kehidupan sosial dan ekonomi komunitas Dayak. Meskipun secara faktual media radio pernah terbukti dapat menjadi saluran komunikasi bagi masyarakat pertanian secara umum, namun dibutuhkan revitalisasi media radio dalam mendukung permberdayaan kehidupan sosial dan ekonomi komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Radio memiliki peluang untuk menjangkau pendengar secara lebih luas, dan dapat diakses secara lebih murah.
Selain media radio, media massa lain yang dapat digunakan dalam meningkatkan akses komunitas Dayak terhadap informasi dan inovasi teknologi adalah media televise. Saat ini media televise bukan lagi merupakan barang mewah. Pada rumah tangga komunitas Dayak yang berada di wilayah ibukota kabupaten, sebagian telah memiliki televise, meskipun masih banyak rumah tangga belum memiliki baik pesawat radio maupun televisi.
Media televisi memiliki keunggulan dibandingkan radio, yaitu berupa gambar bergerak disamping suara (radio visual), sehingga informasi yang disampaikan lebih nyata. Kelebihan tersebut dapat dimanfaatkan dalam menyampaikan informasi dan inovasi melalui penggambaran yang lebih nyata dibandingkan radio.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Komunitas Dayak yang merupakan komunitas terbanyak di Kalimantan Barat yang menempati hampir di seluruh wilayah di Kalimantan Barat. Sebagin besar komunitas Dayak merupakan petani lading dengan tempat hidup terpencar, sehingga pendekatan komunikasi terpusat selama ini termasuk untuk informasi di bidang teknologi pertanian, kurang efektif menjangkau mereka. Secara sosiologis terbukti bahwa posisi dan peranan tokoh adat masih besar dan diakui oleh anggota komunitasnya. Karena itu, pemberdayaan tokoh adat Dayak yang dilakukan oleh Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Swasta maupun komunitas Dayak sendiri, dapat dilakukan dengan menjadikan tokoh adat tersebut menjadi jembatan penghubung atau kontak person (liaison person) antara komunitasnya dan masyarakat luar komunitasnya. Hal ini dilakukan dalam upaya membutka dan meningkatkan akses antara komunitas Dayak dan komunitas diluarnya.
1.2 Saran
Pemberdayaan pertemuan-pertemuan adat yang dipandu oleh tokoh adat untuk menyampaikan inovasi dan menerima informasi, termasuk informasi dan inovasi teknologi pertanian, sehingga dapat meningkatkan akses informasi dan inovasi menjadi lebih efektif. Hal ini guna membuka akses komunitas Dayak terhadap informasi luar, khususnya bidang pertanian dapat dilakukan melalui revitalisasi media radio dan televisi.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M. 2005. Fenomena Etnisitas di Kalimantan Barat dalam Kebudayaan Dayak Aktulisasi dan Transformasi, Institut Dayakologi, Pontianak .
Biro Pusat Statistik. 2001. Sensus Penduduk 2000. Biro Pusat Statisti. Jakarta.
De Vito, J.A. 1993. The Interpersonal Communication Book. Harper and Row, New York .
Departemen Dalam Negeri. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Pertanian.
Djuweng, S. 1997. Indigenous Peoplesand Land Use Policy in Indonesia . A Dayak Showcase, IDRD Pontianak.
Djuweng, S dan W. Krenek, 2005. Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi. Institut Dayakologi. Pontianak.
Hornik, R.C., 1988. Development Communication : Information, Agriculture and Nutrition in The Third World . Longman Inc, New York.
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pemda Tk. I Kalimantan Barat.
Muslim, A. I dan J. Frans, 1992. Makna dan Kekuatan Simbol pada Suku Bangsa Dayak di Kalimantan Barat ditinjau dari Pengelompokkan Budaya; Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak 1992. LP3ES-IDRD, Pontianak .
Muslim, A. Irene. 1991. Peradilan Adat pada Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Universitas Tanjungpura Pontianak, Pontianak .
Nihin, A.Dj. 2005. Model Pembangunan yang Sesuai dengan Aspirasi dan Harapan Orang Dayak dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, Institut Dayakologi, Pontianak.
Pidato Presiden RI, 2005. Perancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Jatiluhur Purwakarta tanggal 11 Juni 2005.
Pranadji, T. 2005. Kemajuan Ekonomi, Reformasi Agraria dan Land Reform di Pedesaan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 3 No.2 Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor . 159-178.
Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Innovation (3rd edition). The Free Press, New York.
Rogers, E.M. 1976. Communication and Development, Critical Perspective. Sage. London.
Singarimbun, M. 1992. Hak Ulayat Masyarakat Dayak; Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak 1992. LP3ES-IDRD, Pontianak .
Soedjito, H. 1996. Masyarakat Dayak; Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah. Kophalindo, Jakarta.
Soesanto, P. Astrid. 1982. Komunikasi Massa 2. Angkasa, Bandung.
Yusnono, P. 2005. Peranan Strategis yang Semestinya Diperankan Dewan Adat dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, Institut Dayakologi, Pontianak .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar